Ngubek Makanan Jalanan Vietnam: dari Pho Sampai Ritual Teh yang Bikin Penasaran
Vietnam itu kayak ruang makan raksasa yang selalu buka. Jalanannya penuh asap wajan, gerobak-gerobak kecil, dan bau kaldu yang nempel di jaket. Buat orang Indonesia yang doyan jelajah kuliner, Vietnam itu surga—murah, berani rasa, dan selalu ada yang baru untuk dicicipi. Di tulisan ini aku ajak kamu keliling dari pho yang legendaris sampai ritual minum teh yang bikin penasaran. Santai aja, bawa napas dan perut kosong.
Pho: sup yang bukan cuma sarapan
Pho itu lebih dari sekadar mie kuah. Di Hanoi, mangkuk pho bisa jadi ritual pagi warga setempat. Kaldu dimasak lama, aroma rempahnya nyerobot—ada kayu manis, jahe, dan kadang cengkeh. Cara makan pho: tambahin daun ketumbar, basil Vietnam, irisan jeruk limo kalau suka asam, dan saus cabai jika perlu. Jangan lupa perhatikan level panasnya; beberapa penjual sengaja bikin pedas yang nendang.
Aku pernah berdiri di depan gerobak kecil jam 6 pagi di Old Quarter, hujan gerimis, dan satu mangkuk pho hangat itu rasanya seperti pelukan. Penjualnya ramah, dia nunjukin cara makan yang “benar” dengan gerakan cepat. Simple moment, tapi ngena. Kalau mau referensi tempat, aku kadang cek kemdongghim sebelum melipir ke spot baru.
Banh Mi — roti lapis jalanan yang bikin nagih (gaul dulu ya)
Banh mi itu versi Vietnam dari sandwich, tapi jangan remehkan. Roti ciabatta tipis, renyah di luar, empuk di dalam, diisi daging panggang, pate, acar wortel dan lobak, plus segenggam daun seger. Harganya? Murah. Rasanya? Satu gigitan dan mulut langsung happy. Enaknya, banh mi bisa jadi sarapan, bekal, atau snack tengah malam setelah party.
Saran: coba yang dari penjual lokal yang ngumpet di gang sempit. Kadang warungnya cuma kursi plastik merah, tapi banh mi mereka bisa juara. Jangan takut bereksperimen—ada varian seafood, ayam, dan versi vegetarian juga.
Ngubek pasar malam & jajanan: bun cha, banh xeo, dan lain-lain
Pasar malam Vietnam itu pesta kecil. Bun cha (babi panggang dengan mie dan kuah asam manis) adalah salah satu bintang. Banh xeo, pancake tipis isi udang dan tauge, dimakan sambil dibungkus daun selada—langsung ditarik ke mulut, messy, dan bahagia. Banyak penjual mengandalkan bahan segar: herba, sayur, dan daging yang dimarinasi khas.
Tips praktis: perhatikan antrean lokal. Kalau ramai berarti enak. Kalau ragu soal kebersihan, pilih yang gerobaknya selalu penuh sama warga lokal—rotasi yang cepat biasanya indikator bagus. Bawa juga tisu basah dan hand sanitizer; akan sangat membantu.
Ritual teh & kopi: egg coffee yang wajib dicoba
Selain makanan, Vietnam juga punya kebiasaan minum yang unik. Di Hanoi, egg coffee (cà phê trứng) terkenal—kopi kental diselimuti krim telur manis yang teksturnya menyerupai tiramisu. Minum pertama selalu mengejutkan: panas, legit, dan kaya. Ada juga tradisi minum teh yang terasa seperti “ritual” santai; duduk di warung kecil, cangkir teh hangat, ngobrol pelan sambil menonton lalu lintas motor yang tak pernah berhenti.
Kalau kamu penasaran dengan teh lokal, cari trà sen (teh bunga lotus) atau teh jasmine. Mereka biasanya dinikmati perlahan, bukan untuk diburu. Aku pernah duduk di sebuah kedai kayu tua, melihat barista menuang teh dengan gerakan lambat—suasana jadi hening dramatis. Bukan upacara formal, tapi rasanya sakral untuk rileks sejenak.
Beberapa catatan perjalanan singkat: tukar uang ke Dong di tempat terpercaya, siapkan cash karena banyak penjual jalanan belum pakai kartu, dan siapkan aplikasi peta offline untuk cari warung tersembunyi. Untuk muslim traveler, perhatikan bahan, banyak makanan mengandung pork atau saus ikan—tanya dulu. Bahasa? Cukup belajar beberapa kata sapaan; senyum dan “cảm ơn” (terima kasih) selalu membuka banyak pintu.
Akhirnya, makan di jalanan Vietnam itu soal mood dan keberanian. Siapkan napas, bawa hand sanitizer, dan jangan ragu mencicipi yang asing. Kalau kamu suka kuliner yang jujur dan penuh cerita, Vietnam akan menaruh banyak memori manis di perut dan kepala. Selamat ngubek—dan kalau pulang, bawa cerita yang lebih banyak daripada oleh-oleh.